RSS

Pemenggalan Patung Wayang


Sekelompok massa yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Purwakarta melakukan aksi menghancurkan beberapa patung wayang seperti Semar, Bima, Gatotkaca, dan Yudhistira di Purwakarta minggu 18 September 2011 lalu. Aksi ini dilakukan setelah pelaksanaan istighosah atau doa bersama. Berdasarkan berita-berita yang ada di berbagai situs, kontroversi mengenai patung-patung wayang di Purwakarta ini sebenarnya sudah timbul sejak akhir tahun silam. Bahkan sidang gugatan terhadap pembangunan patung-patung tersebut sudah berjalan. Beberapa demo yang menolak pembangunan dan mendukung penghancuran patung-patung itu juga sudah lama berjalan. Sebagai contoh pada 6 Agustus 2010 silam.
Alasan utama yang dikemukakan dari penghancuran Patung Wayang tersebut adalah karena pendirian Patung-Patung Wayang tersebut tidak bermanfaat,  pemborosan secara ekonomi, bertentangan dengan nilai-nilai sejarah Purwakarta - karena bukan pahlawan daerah yang diangkat,  bertentangan dengan nilai-nilai Islami yaitu menyuburkan kemusyrikan dan  secara politik memaksakan kepercayaan kepada tokoh tahayul  secara sistematik, serta  secara aspek budaya merupakan pengultusan tokoh khayalan.
Sebenarnya, masalah wayang telah menjadi polemik di kalangan para wali pada jaman dahulu. Karena menurut mereka yang menentangnya, di dalam wayang terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan Tuhan dalam Islam.
Menurut Muhammad Fakhryrozi, dalam tulisannya di Media Indonesia (http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/573) Para Wali -lah yang justru berperan penting dalam mengembangkan pewayangan di Indonesia. Bahkan mereka mengatur pembagian permainan wayang menjadi wayang kulit, wayang orang, dan wayang golek di tanah Jawa ini. Hal ini berkaitan dengan maknawi wayang yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Jadi, pewayangan di Indonesia sudah tidak lagi mengandung nilai-nilai Hinduisme, tetapi justru sangat kental dengan nilai-nilai Islami baik dari Karakter, Cerita, dan Bentuk Peragaan dalam memainkan Wayang itu.
Penghancuran Patung Wayang di Purwakarta, jika dilihat dari kronologis kisruhnya tampaknya lebih kepada sengketa kebijakan Pemda Purwakarta yang tidak melibatkan masyarakat sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan mulai dari APBD, Lokasi, sampai pada pelaksanaan pembangunannya. Sebab selain Patung Wayang, masyarakat Purwakarta juga menilai negatif kebijakan Pemda tentang Batik Kahuripan yang hendak dilestarikan karena dinilai tidak mencerminkan dua kalimat Syahadat dan tidak bernuansa Islami (http://dpdpanpurwakarta.blogspot.com/2010/09/sidang-lanjutan-kasus-patung-bima.html).
Sumber : http://regional.kompasiana.com/2011/09/19/kisruh-patung-wayang-di-purwakarta/

MUDIK

Mudik adalah eksodus besar-besaran yang berlaku di Indonesia pada idul fitri. Masyarakat berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Berbagai jenis alat transportasi penuh sesak menghantar para pemudik ke rumah masing-masing. Fenomena migrasi tahunan yang kita kenal sebagai mudik telah berlangsung puluhan kali. Ada banyak dampak positif yang membonceng fenomena ini, baik dari dimensi sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik. Jika dilihat dan disikapi lebih cermat, tidak mustahil semua pihak bisa menggandakan manfaat mudik lebih besar lagi.
Fenomena mudik sendiri di Indonesia begitu terasa setelah tahun 1960-an akibat adanya urbanisasi masyarakat desa ke kota. Mudik yang biasa dilakukan oleh orang-orang kota kembali ke desa adalah efek dari proses urbanisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Bagi pemerintah, fenomena mudik sebenarnya sangat positif jika mampu memberikan kebijakan jaminan pelayanan publik. Adanya pelayanan khusus untuk kelompok rentan seperti penyediaan gerbong bagi lansia, ibu hamil dan anak-anak patut mendapatkan apresiasi khusus.
Pihak swasta pun juga mendapatkan keuntungan sebenarnya, yaitu adanya ruang yang lebih intim antara pemimpinan dan pekerja untuk bisa saling silaturahim. Kondisi ini tentu saja mendekatkan jarak antara pemimpin dan karyawan. Ada ruang hubungan industrial yang terjaga, pemberian tunjangan hari raya (THR) hingga fasilitasi mudik gratis bersama-sama ke daerah asal.
Dari sisi ekonomi, sekurangnya ada tiga esensi ekonomi dari tradisi mudik Lebaran yang berlanjut ke aktivitas 'balik' merantau ke kota. Peran pemerintah mengelola tradisi mudik secara baik akan memberi manfaat besar terhadap ekonomi nasional. Tiga esensi tersebut, pertama, aktivitas mudik (termasuk arus balik) akan menciptakan perputaran uang yang begitu besar dan cepat (velocity of money). Puluhan triliun rupiah berpindah tangan dari kota ke kota, dari kota ke desa-desa dan perkampungan kecil. Tentu, secara agregat, nilai uang di sini bukan hanya berbentuk cash, namun juga bisa berupa perkakas elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan lainnya. 
Pada 2010 ini, diperkirakan jumlah pemudik mencapai lebih dari 16 juta orang. Dengan asumsi 10 juta keluarga dan setiap keluarga membawa rata-rata uang Rp 10 juta, berarti akan terjadi transfer uang ke daerah sekurangnya Rp 100 triliun. Bahkan, jika ditambahkan dengan unsur pemudik seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang biasanya membawa valuta asing (valas) dalam jumlah besar, maka nilai transfer yang terjadi akan jauh lebih besar. Apalagi, para TKI biasanya akan membawa pulang semua uang hasil tabungannya selama bekerja berbulan-bulan.
Dalam pendekatan teori ekonomi, fenomena seperti ini disebut sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan. Yaitu, terjadinya perpindahan kekayaan (baca: uang) dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu individu ke individu lain.
Redistribusi ekonomi dalam mudik Lebaran bisa dibedakan dari dua tipe pemudik. Yaitu, tipe pemudik sektor informal berpenghasilan rendah dan tipe pemudik dari pekerja formal berpenghasilan lebih tinggi. Yang termasuk tipe pertama, antara lain penjual bakso, penjual jamu, pedagang kaki lima, kaum buruh, dan pembantu rumah tangga (PRT). Biasanya bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok ini adalahmembelanjakan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang elektronik, pakaian baru, makanan, minuman, atau malah untuk memulai suatu usaha baru di kampung.
      Sementara, untuk tipe pemudik kelompok kedua didominasi oleh profesi formal, seperti dokter, pengacara, bankir, pegawai negeri, karyawan swasta, dan sebagainya. Adapun, bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari pemudik tipe pertama. Hanya saja, ada bentuk-bentuk redistribusi lain yang juga dijalankan seperti membagi-bagikan uang kepada sanak saudara di kampung, menyewa tukang cuci, sopir pribadi, dan lain sebagainya. Fakta di atas menunjukkan bahwa tradisi mudik memang akan menciptakan redistribusi ekonomi dari kota besar, khususnya Jakarta ke daerah-daerah yang pada gilirannya bisa menstimulasi aktivitas produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam titik tertentu, kondisi ini juga bisa meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan daerah kepada pusat.
            Kedua, tradisi mudik juga berpengaruh positif pada keberadaan infrastruktur. Tak jarang, datangnya aktivitas mudik mengharuskan pemerintah memperbaiki dan menambah kondisi infrastruktur yang ada, mulai dari pembangunan jalan darat, rel kereta api, jembatan, bandar udara, hingga pelabuhan laut. Hal ini tentu positif untuk sektor infrastruktur itu sendiri maupun sisi ketepatan penyerapan anggaran.
        Ketiga, aktivitas mudik Lebaran juga menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, yakni melalui peningkatan konsumsi. Ini terjadi karena begitu besarnya volume pemudik yang mencapai puluhan juta orang, sehingga nilai konsumsi agregat yang dihasilkan pun akan sangat besar, mencapai ratusan triliun rupiah. Jenis konsumsi yang cukup besar menjelang mudik biasanya berupa pembelian motor, mobil, bahan makanan, pakaian, dan biaya komunikasi. Dari fakta ini, berarti mudik Lebaran bisa dijadikan akselerator dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi 2010, agar melampaui target dalam APBN-P 2010 sebesar 5,8 persen.
            Pada hakikatnya, mudik Lebaran tetap mempunyai pengaruh positif, baik bagi pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional. Apalagi, bila dikelola secara lebih baik, niscaya potensi manfaat dan nilai tambah tradisi mudik ini akan jauh lebih besar dari selama ini.
           Fakta lain menunjukkan bahwa mudik Lebaran tidak hanya didominasi oleh kaum Muslim saja, namun juga umat agama lain. Kita semua memanfaatkan momentum ini sebagai ajang untuk bertemu dengan sanak keluarga dan kerabat di kampung halaman.

Sumber:http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/m/edef-konten-view-mobile.asp?id=2010092715201243883416

Copyright 2009 oktarinigintings. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy