RSS

Kenaikan Yesus




            Hari ini aku berkesempatan berjumpa dengan “Jason Statham” :) dan di perjumpaanku hari ini, ia bercerita tentang Kenaikan Yesus ke Sorga. Dalam perbincangan kami kali ini, ia mengutip ayat dari Kisah Para Rasul 1:8, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun di atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”. Bukan merupakan urusan kita untuk mengetahui masa dan waktu kapan pemulihan akan terjadi, tapi yang Yesus kehendaki adalah agar kita sebagai orang-orang percaya, dapat menjadi saksiNya di tengah dunia. Menjadi saksi yang bisa memberitakan kebenaran firmanNya, apapun situasi dan kondisi kita.
            Untuk menjadi saksi Kristus, kita dituntut tidak hanya sekedar mengetahui siapa Kristus, tetapi kita harus mengenal Dia lebih dalam. Sama seperti yang tertulis di Efesus 1:17, “dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Mengenal tidaklah sama dengan mengetahui. Ketika kita mengatakan bahwa kita mengenal Yesus, maka kita mempunyai hubungan yang intim dengan Dia. Kita dapat merasakan kebaikan Yesus dengan begitu dalam di kehidupan kita. Dan ketika kita sudah mampu mengenal Yesus dengan dalam dan benar, maka kita akan tetap mampu menyaksikan kebaikan Yesus meskipun dalam situasi-situasi yang sulit. Mengenal Yesus dengan dalam juga menuntut kita untuk bisa mewujudnyatakan kepribadianNya dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita mengenal Yesus sebagai Tuhan yang pengampun, maka kita juga harus bisa mengampuni sesame kita, bahkan musuh kita sendiri. Mewujudnyatakan!

            Di akhir perjumpaanku dengan “Jason Statham”, ia mengatakan, “Jangan pernah terfokus kepada masalah yang kita hadapi, tapi fokuslah terhadap solusi atas permasalahan yang sedang kita alami. Yakinlah pada Allah kita yang kekal dan belajarlah mengenal Dia dengan benar dan lebih dalam!”  :)



Iman yang Setia Memelihara Rasa Percaya Kepada Tuhan




Hari ini aku berjumpa dengan “Si Penjelajah Waktu” dan ia bercerita tentang kekagumannya kepada Stefanus. Ia begitu kagum dengan iman yang dimiliki oleh Stefanus. Iman yang bukan sebuah eforia sesaat, tapi sebuah keyakinan yang memang dipegang, dihidupi, dan diejawantahkan dalam hidupnya, sehingga menghasilkan sebuah keteladanan hidup yang menginspirasi. Ia juga mengatakan bahwa iman seperti Stefanus tidaklah lahir secara instan, melainkan melalui sebuah proses.
Kata “Si Penjelajah Waktu”, iman yang dimiliki oleh Stefanus adalah iman yang mewujud menjadi sebuah penghayatan spiritual dan bukan sekedar penghayatan agama. Ia menjelaskan bahwa penghayatan spiritual meletakkan dogma/ajaran merupakan titik tolak untuk mengenal Tuhan lebih jauh dan semakin dalam, ibadat/kultus merupakan saat menghadap dan hadir di hadapan Tuhan guna mempertanggungjawabkan hidup, moral/etika merupakan praktek untuk mengambil bagian dalam melaksanakan sifat-sifat Tuhan dalam hidup nyata (apa yang kita lakukan merupakan refleksi dari sifat-sifat Tuhan), dan lembaga/organisasi adalah sarana untuk mencapai tujuan hidup bersatu dengan Tuhan (kualitas kehidupan menjadi lebih baik). Ia juga menjelaskan mengenai penghayatan agama. Katanya, penghayatan agama adalah seperti apa yang dilakukan oleh mahkamah agama. Penghayatan agama meletakkan dogma/ajaran menjadi satu-satunya pokok dalam menjalani agama, ibadat/ritual menjadi kewajiban dengan sanksi ganjaran atau hukuman, moral/etika merupakan hukum dengan sanksi ganjaran atau hukuman (perilaku dilihat berdasarkan standar baik dan standar tidak baik), dan lembaga/organisasi mutlak diperlukan untuk pelestarian agama. Jadi, dapat terlihat jelas perbedaan antara penghayatan spiritual dengan penghayatan agama. Penghayatan spiritual merupakan perjuangan untuk perjumpaan dengan Yesus yang hidup dan melihat “yang berbeda” adalah sebagai rekan seperjalanan dalam menghadirkan yang baik. Penghayatan agama adalah perjuangan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dan menempatkan “yang berbeda” sebagai yang harus diperangi/dihancurkan.
Perjumpaanku dengan “Si Penjelajah Waktu”, membuat pemahamanku tentang IMAN semakin bertambah. Berdasarkan penjelasan yang ia sampaikan, aku tahu bahwa IMAN merupakan penghayatan spiritual (perjumpaan dengan Tuhan dan merasakan kebaikan Tuhan dalam kehidupan). Bisakah kita memiliki IMAN yang mewujud menjadi sebuah penghayatan spiritual seperti yang dimiliki Stefanus? Bisa! Yaitu dengan hidup dekat kepada Yesus. Kalau kata Petrus, hidup dekat dengan Yesus adalah sama seperti “bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan” (1 Petrus 2:2). Dan bukan hanya makanan rohani, melainkan juga bersedia datang kepada Yesus. Sehingga kita bersedia mengalami perjumpaan yang mengubahkan diri kita setiap saat. Layaknya pepatah yang mengatakan bahwa pergaulan menentukan sikap hidup kita, maka hubungan yang semakin dekat dengan Yesus akan melahirkan sikap hidup yang sesuai dengan Firman Allah, sehingga kita pun dapat menjadi berkat bagi orang lain melalui sikap dan perilaku kita.
Diakhir perjumpaanku dengan “Si Penjelajah Waktu”, ia mengatakan, “Pengalaman dekat dengan Tuhan bukan hanya melihat diri kita dapat berimbas bagi orang lain, tapi dapat memandang “krisis” bukanlah sebagai akhir, tapi sebagai kesempatan untuk berbuat baik, untuk memuliakan Tuhan, dan untuk menyenangkan Tuhan. Iman haruslah sebagai penghayatan spiritual dan menjadi pengalaman yang semakin dalam bersama Tuhan, sehingga hidup setiap orang percaya dapat menjadi teladan dan inspirasi bagi orang lain”.
Waktu membaca kisah hidup Stefanus, sepertinya sulit sekali memiliki iman seperti yang dimiliki Stefanus. Tapi, lagi-lagi kata “Si Penjelajah Waktu”, “Selamat Berjuang Saudaraku! Tuhan Yesus memberkati!”

Copyright 2009 oktarinigintings. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy