Hari ini aku berjumpa dengan “Si Penjelajah
Waktu” dan ia bercerita tentang kekagumannya kepada Stefanus. Ia begitu kagum
dengan iman yang dimiliki oleh Stefanus. Iman yang bukan sebuah eforia sesaat, tapi sebuah keyakinan
yang memang dipegang, dihidupi, dan diejawantahkan dalam hidupnya, sehingga
menghasilkan sebuah keteladanan hidup yang menginspirasi. Ia juga mengatakan
bahwa iman seperti Stefanus tidaklah lahir secara instan, melainkan melalui
sebuah proses.
Kata “Si Penjelajah Waktu”, iman yang dimiliki
oleh Stefanus adalah iman yang mewujud menjadi sebuah penghayatan spiritual dan
bukan sekedar penghayatan agama. Ia menjelaskan bahwa penghayatan spiritual
meletakkan dogma/ajaran merupakan titik tolak untuk mengenal Tuhan lebih jauh
dan semakin dalam, ibadat/kultus merupakan saat menghadap dan hadir di hadapan
Tuhan guna mempertanggungjawabkan hidup, moral/etika merupakan praktek untuk
mengambil bagian dalam melaksanakan sifat-sifat Tuhan dalam hidup nyata (apa
yang kita lakukan merupakan refleksi dari sifat-sifat Tuhan), dan
lembaga/organisasi adalah sarana untuk mencapai tujuan hidup bersatu dengan
Tuhan (kualitas kehidupan menjadi lebih baik). Ia juga menjelaskan mengenai
penghayatan agama. Katanya, penghayatan agama adalah seperti apa yang dilakukan
oleh mahkamah agama. Penghayatan agama meletakkan dogma/ajaran menjadi
satu-satunya pokok dalam menjalani agama, ibadat/ritual menjadi kewajiban
dengan sanksi ganjaran atau hukuman, moral/etika merupakan hukum dengan sanksi
ganjaran atau hukuman (perilaku dilihat berdasarkan standar baik dan standar
tidak baik), dan lembaga/organisasi mutlak diperlukan untuk pelestarian agama.
Jadi, dapat terlihat jelas perbedaan antara penghayatan spiritual dengan
penghayatan agama. Penghayatan spiritual merupakan perjuangan untuk perjumpaan dengan
Yesus yang hidup dan melihat “yang berbeda” adalah sebagai rekan seperjalanan
dalam menghadirkan yang baik. Penghayatan agama adalah perjuangan tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu dan menempatkan “yang berbeda” sebagai yang harus
diperangi/dihancurkan.
Perjumpaanku dengan “Si Penjelajah Waktu”,
membuat pemahamanku tentang IMAN semakin bertambah. Berdasarkan penjelasan yang
ia sampaikan, aku tahu bahwa IMAN merupakan penghayatan spiritual
(perjumpaan
dengan Tuhan dan merasakan kebaikan Tuhan dalam kehidupan). Bisakah
kita memiliki IMAN yang mewujud menjadi sebuah penghayatan spiritual seperti
yang dimiliki Stefanus? Bisa! Yaitu dengan hidup
dekat kepada Yesus. Kalau kata Petrus, hidup dekat dengan Yesus adalah sama
seperti “bayi yang baru lahir, yang
selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu
bertumbuh dan beroleh keselamatan” (1 Petrus 2:2). Dan bukan hanya makanan
rohani, melainkan juga bersedia datang kepada Yesus. Sehingga kita bersedia mengalami
perjumpaan yang mengubahkan diri kita setiap saat. Layaknya pepatah yang
mengatakan bahwa pergaulan menentukan sikap hidup kita, maka hubungan yang
semakin dekat dengan Yesus akan melahirkan sikap hidup yang sesuai dengan
Firman Allah, sehingga kita pun dapat menjadi berkat bagi orang lain melalui
sikap dan perilaku kita.
Diakhir perjumpaanku dengan “Si Penjelajah
Waktu”, ia mengatakan, “Pengalaman dekat dengan Tuhan bukan hanya
melihat diri kita dapat berimbas bagi orang lain, tapi dapat memandang “krisis”
bukanlah sebagai akhir, tapi sebagai kesempatan untuk berbuat baik, untuk
memuliakan Tuhan, dan untuk menyenangkan Tuhan. Iman haruslah sebagai
penghayatan spiritual dan menjadi pengalaman yang semakin dalam bersama Tuhan,
sehingga hidup setiap orang percaya dapat menjadi teladan dan inspirasi bagi
orang lain”.
Waktu membaca kisah hidup Stefanus,
sepertinya sulit sekali memiliki iman seperti yang dimiliki Stefanus. Tapi,
lagi-lagi kata “Si Penjelajah Waktu”, “Selamat
Berjuang Saudaraku! Tuhan Yesus memberkati!”
0 komentar:
Posting Komentar